8 December 2006

Benarkah Poligami Sunnah???

* UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran
poligami.

Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari
pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada
kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit
dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks
ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4:
2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang
poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi,
apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks
perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad
Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama
terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi
perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan
darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan
dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi
"hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk
mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik
poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin
aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin
bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya.
Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah",
atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu
sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan.
Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi.
Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat
distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak
melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada
berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang
menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri
tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru
kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani
hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini,
sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah penerapan
Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang
mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati
dan anak-anak yatim.
Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis
ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti
bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat
itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat
pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawin an Nabi.
Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami
itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut
fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami,
calon istri, atau kondisi masyarakatnya.
Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam
al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan
ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri,
apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan
poligami.
Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih
memilih mengharamkan poligami.

Nabi dan larangan poligami

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya
transformasi sosial (lihat pada Jâmi'
al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi
merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi
feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan
dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri
sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami,
mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil
dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh
perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah
yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi,
dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan
terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan
berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini
dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada
hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi'
al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai
kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga
perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan
pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu
sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan
melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin
Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan
propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka:
Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad
SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu,
Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu
berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan.
Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku,
kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku;
apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti
hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor
hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua
tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan
menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah
justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki
Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah
RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks

*
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi
sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami
dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap
sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya.
Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa
upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah
berubah.
Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk
pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang
berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan
proses dehumanisasi perempuan.
Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks
poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami
self-depreciation.
Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun
mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka
yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya
dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen
statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi
kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan.
Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara
statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya
terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam
kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih
tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga
penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang
dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat
sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan.
Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan
manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami
dianggap persoalan parsial.
Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi
sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu
kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah
sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk
pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan
tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal
dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan
sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara
langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini
haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan
melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh,
ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan.
Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW:
"Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang
lain." (Jâmi'a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu
lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".

Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute
Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah

No comments: